Saturday, April 6, 2013

UKHUWAH



14 Desember 2012

Konsep persaudaraan yang diperkenalkan oleh ajaran Islam sangatalah indah. Di dalam konsep tersebut semua orang muslim di dunia ini adalah saudara, terlepas dia terlahir dari golongan kaya atau miskin, terlepas dari jabatan, keturuna, suku, ras, kemampuan, atau segala hal yang berkaitan dengan keduniawian. Selama ia masih mengaku menjadi orang islam (beragama islam) maka orang tersebut adalah saudara orang islam lainnya.

Sesama muslim adalah satu tubuh. Analogi ini jugalah yang dibawa oleh ajaran islam dalam menyebarkan indahnya persaudaraan islam. Bila muslim yang satu merasa kesulitan, maka sudah seyogyanya bila muslim yang lain untuk membantu meringankan beban tersebut, atau minimal tidak menambah kesulitan tersebut atau malah mempersulit kemudahan masalah tersebut. Layaknya tangan kanan kita yang terluka, maka pada kondisi tersebut tangan kiri kita akan mengambil alih pekerjan tangan kanan tersebut, atau bagia tubuh yang lain akan memposisikan dirinya masing-masing untuk membuat keadaan yang lebih nyaman pada tangan kanan yang terluka tersebut, atau setidaknya akan menghindari daerah-daerah yang akan membuat tangan kanan tersebut bertambah parah rasa sakitnya. Begitulah analogi yang diajarkan oleh islam tentag sebuah konsep persaudaraan.

Konsep persaudaraan islam yang seperti inilah yang dulu membuat aku tertarik untuk mengenal islam lebih jauh dan lebih dalam. Semua muslim itu saudara, konsep persaudaraan dalam islam yang pertama kali ku dengar saat aku berada di bangku SMA. Kata-kata tersebut tercetus dari seorang laki-laki yang aku kagumi. Bukan rasa kagum seorang perempuan pada laki-laki, tapi rasa kagum dari seorang murid pada gurunya.

Rasulullah telah membawa dan mengenalkan konsep ini ratusan tahun yang lalu, telah menyebarkan indahnya konsep ukhuwah islamiyah ke segala penjuru. Namun, dari laki-laki tadilah aku mengenal konsep yang disebarkan oleh rasulullah. Aku bersyukur Allah mempertemukan kami sebagai guru dan murid.

Ketika di bangku SMA, untuk pertama kalinya aku benar-benar merasakan indahnya ukhuwah. Bagaimana senior-seniorku membantuku dengan sumbangan-sumbangan baju dan kerudung mereka saat aku memutuskan untuk menutup auratku. Bagaimana semangat, dukungan, motivasi dan doa dari mereka yang kudapatkan ketika aku melewati berbagai cobaan, rintangan, dan penentangan pada awal hari-hari aku menjalani diriku menjadi seorang muslimah dengan penutup aurat yang rapat. Hingga pada akhirnya aku punya kekuatan dan tekad sendiri yang kokoh untuk terus memperjuangkan niatku dalam menutup aurat. Aku berniat takkan melepas kerudungku sampai kapan pun di depan orang-orang yang tak berhak untuk melihat auratku. Islam semakin indah bagiku. Kerudung bagiku bukanlah suatu belenggu, sebaliknya, malah kuanggap sebagai pelindung dan simbol kebebasanku. Aku yang memilih siapa-siapa saja yang berhak melihat auratku. Cara pandangku, semuanya bermula dari sebuah konsep ukhuwah. Semua muslim itu bersaudara, aku tahu dan yakin pada saaat itu dan sampai sekarang pun, aku tidak sendiri, tidak pernah sendiri. Aku selalu punya saudara, saudara seiman.

Konsep ukhuwah yang indah juga kurasakan pada saat aku menjadi penghuni salah satu kampus di kota kembang sana. Pada hari pertama aku menginjakkan kakiku di kota pelajar itu, hatiku membuncah oleh rasa haru dan bahagia. Bukan karena akhirnya aku berhasil sampai ke kota tersebut, tapi lebih pada sekelilingku. Kepala-kepala yang ditutup kerudung, bertabur dimana-mana, sangat kontras dengan daerah asalku dulu. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, sebagian sisi hatiku berdenyut perih dan sakit ketika konsep ukhuwah yang kukenal tak seindah yang diceritakan oleh guru dan saudara-saudaraku di Kabanjahe sana. Bukan karena terlalu sering menjalaninya sehingga menjadi biasa rasanya, bukan karena itu. Karena pada akhirnya, di kota kembang sana, wanita-wanita yang bertaburan kerudung tadi tidak seperti aku dan saudara-saudaraku saat di SMA dulu. Berkerudung di kota kembang sana bukan berarti harus menutup aurat hati dan fikiramu. Tidak harus berarti itu. Sungguh bila kuingat lagi sekarang cara berfikirku yang lalu, aku mungkin akan menertawakan kesederhanaan, kebodohan dan kenaifan cara berfikirku.

Namun, kesedihan hatiku tak berlagsung lama. Ibarat pengembara yang kehausan di padang pasir, menemukan oase yang sangat indah dengan limpahan air yang bening dan sejuk, begitu jugalah yang kurasakan saat benar-benar menjejakkan kakiku di kampus Padjadjaran sana. Aku dipertemukan kembali dengan konsep ukhuwah yang kurindukan dulu, konsep yang mengatakan bahwa muslim itu satu tubuh. Konsep ini tidak hanya kutemukan dan kurasakan di kampus. Allah sangat baik, sehingga aku juga bisa merasaka ukhuwah saat aku memilih tempat tinggal (baca: kos-kosan). Indah, sangat indah saat-saat aku memiliki saudara-saudara untuk berbagi. Berbagi cerita senang, duka, mimpi, sejarah, ambisi-ambisi, ketakutan-ketakutan, perbedaan pendapat, pandangan-pandangan. Semuanya indah, sangat indah. Saat aku sakit, aku sangat ingat seorang saudaraku membantuku mengerjakan laporan praktikumku saat aku jatuh sakit, padahal dia bukan jurusan kimia. Saat aku butuh kendaraan dikala ekonomi keluargaku memburuk, saudaraku meminjamkan motornya padaku untuk waktu yang lumayan panjang, dan masih banyak lagi kenangan-kenangan indah tentang ukhuwah islamiyah yang kualami dan kurasakan selama 5 tahun di Jatinangor, tempat Padjadjaran berdiri kokoh.

Sampai aku melepaskan statusku sebagai mahasiswa, dan berdiri di aula Padjadjaran didampingi kedua orangtuaku dan nenekku, ingatan akan ikatan ukhuwah itu masih terpatri kuat di pohon-pohon memoriku. Dimana salam, sapa, dan senyum mereka begitu bertebaran di tiap-tiap hariku selama 5 tahun aku mengukir ilmu di Padjadjaran sana. Semuanya begitu terasa biasa karena begitu sering hal itu aku dapati.

Hal-hal semacam itu, senyum, salam, dan sapa tadi mulai terasa indah saat wajah-wajah teduh dengan kerudung panjangnya yang anggun tidak lagi kutemukan di daerah tempat aku bekerja (Jakarta). Aku mulai merindukan sapaan-sapaan yang islami, sapaan-sapaan yang tulus, yang dengan sadar dilakukan oleh mereka semua karena Ridho Allah semata, buka mengharapkan imbalan dari orang yang disapa.  Akhirnya, aku menyimpulkan bahwa lingkungan tempat aku bekerja sungguh kering dari kata-kata “UKHUWAH”. Buah dari kesimpulanku akhirnya menjawab keragu-raguan tekadku untuk mencari ladang rezeki yang baru. Aku keluar. Keluar untuk mencari lingkungan yang menawarkan tunas nilai-nilai ukhuwah islami.

Ketika teman-temanku yang sejurusan beramai-ramai berlayar di daerah barat bumi Nusantara (Jabodetabek), aku memutar kemudi kapalku, mencoba menemukan ikan yang berlimpah ruah ke arah timur. Dan sampailah aku di kota Pahlawan. Kota yang terkenal dengan lambang ikan hiu dan buaya. Ya, Surabaya.

Di kota Bonek ini aku mulai menebarkan jaring-jaringku, mencoba ke pulau yang satu dan ke pulau yang lainnya, mencocokkan dengan konsep ukhuwah yang pernah aku kenal, dan akhirnya aku memutuskan berlabuh di tempat ini, tempat para calon-calon pemimpin dunia dicetak (mudah-mudahan bukan hanya sekedar jargon).

Setelah hampir satu tahun aku berbaur dengan para pelaku utama dan pelaku figuran di tempat ini, aku mulai terbiasa dengan rasa kecewa, sehingga kecewa bukan sesuatu yang mendorongku untuk menjadi seseorang yang reaktif (lagi). Ya, lagi-lagi, di tempat ini, konsep ukhuwah yang kukenal tidak seindah dulu. Terkadang kenangan memang jauh lebih indah, apa lagi saat kita menemukan pembandingnya di masa depan.

Semoga aku bisa membangun konsep itu dengan mereka (siapa pun itu) yang merindukan ukhuwah islamiyah yang indah, sangat indah….

Sunday, November 11, 2012

Haruskah selalu maju saat tantangan muncul???



Tulisanku yang di atas, sebelum judul baru ini kutulis, sengaja tak kuteruskan. Ada banyak alasannya aku tak meneruskan tulisan yang di atas. Pertama, ide-ide menulis tentang hal tersebut banyak yang menguap layaknya air yang dijemur di terik panasnya matahari. Kedua, aku punya ide-ide baru yang lebih fresh, dan jika tidak segera kutuliskan, maka ide-ide baru tersebut akan menguap juga. Ketiga, alasan yang paling penting, udah males ngebahasnya.

Ok, to the next topic. Hari-hariku terus berjalan di ICM. Banyak pelajaran hidup yang kunikmati di tempat ini. Seperti di tulisanku sebelumnya, rasanya nano-nano. Ada rasa manis, asam, pedas, asin, bahkan pahit.

Ada yang menarik pagi ini. Sebuah kalimat “Tantangan itu JANGAN DIHINDARI, APALAGI HARUS MUNDUR, tapi HARUS SELALU DIHADAPI”. Sejenak otak dan hatiku berlomba-lomba untuk memaknai kalimat dahsyat tersebut, bagai terkena mantra sihir. Merenung aku sejenak, di tengah kata-kata seseorang. Lalu, kurasakan ada penolakan dari sebagian hati dan otakku, dan ada penerimaan lagi dari setengah bagian hati dan otakku.

Kata-kata “TANTANGAN HARUS DIHADAPI” memang terlihat tangguh dan tegas. Dan, aku sangat setuju untuk hal yang satu ini. Tantangan, masalah, kesulitan memang harus dihadapi. Tapi apakah harus selalu maju dan tak pernah mundur bila ada tantangan? Ini yang membuat aku kurang setuju. Kenapa? Lets see it.

Aku akui, setiap orang punya filosofi hidup yang berbeda, kalau sama hidup pasti tidak menarik dan pasti sangat membosankan. Ada yang menjalani hidup ini bagai petualang, dan mungkin bagi orang lain lainnya hidup adalah panggung sandiwara, atau ada yang menjalani hidup bagai air mengalir. Namun, bagiku hidup ini dijalani seperti kita bermain catur. Ada yang menjadi lawan dan kawan. Ada yang menjadi penasihat, pembantu, bahkan pemimpin. Tapi bukan di sana titik berat penglihatanku terhadap analogi hidup dan permainan catur. Titik pointku adalah bagaimana kita memainkan dan menempatkan bidak-bidak catur kita di petak-petak yang tepat di sebuah papan catur. Bagaimana kita menyusun strategi kapan saatnya harus bergerak maju, melawan, dan menyerang atau memutuskan untuk berkorban dan mundur sejenak untuk menyusun strategi baru atau pun mengecoh perhatian lawan. 

Begitu juga hidup. Kita harus menempatkan semua permasalahan yang kita alami di tempat yang tepat. Kadang-kadang bahkan sering, kita harus berkorban untuk mencapai tujuan besar kita. Sama halnya saat permainan catur, saat kita mengorbakan dua buah pion kita untuk sebuah tentara kuda lawan. Secara kuantitas, jelas kita korban dua, tetapi secara kualitas, kita menang satu perwira penting. Begitu juga halnya tentang hidup. 


Dalam permainan catur, ketika sebuah perwira kita diancam, maka ada tiga pilihan yang bisa kita lakukan. Pilihan pertama adalah tukar perwira. Pilihan kedua adalah mengancam balik. Dan pilihan ketiga adalah mundur. Apakah kemunduran perwira tersebut merupakan suatu pengakuan kalah? Belum tentu. Mundurnya seorang perwira dalam sebuah permainan catur bisa mendatangkan keuntungan atau kerugian, tergantung posisi seluruh bidak saat itu. Mundurnya seorang perwira, bisa untuk mengalihkan atau mengecoh perhatian lawan, yang membuat kita bisa menggunakan waktu lebih lama untuk menyusun strategi lanjutan. 

Begitu juga kehidupan ini. Saat kita berada dalam suatu permasalahan, sudah pasti kita harus menghadapinya. Namun, ada kalanya kita harus mundur sejenak untuk menyusun rencana dan strategi baru. Kadang-kadang kemunduran kita dipandang rendah oleh orang lain. Tapi bukankah cukup bila Allah saja yang tahu akan niatan mundur kita?


Mundur tidak harus membawa kekalahan dan maju tidak selalu membawa kemenangan. Ada kalanya kita mundur sejenak untuk memberikan ruang bagi rencana, ide, dan strategi baru hidup kita. Tapi memang, MASALAH HARUS DIHADAPI. Tapi bukan berarti mundur itu salah, karena bila mundur sejenak untuk menyusun strategi yang lebih matang membuat sesuatu lebih baik, kenapa tidak?

Wallahu’alam bishowab….

Monday, August 6, 2012

Hanya Sebuah simbol, benarkah???



Apa yang pertama kali muncul di benak kalian saat mendengar kata “PEMIMPIN”??? Kekuasaan, Jabatan, Pengatur, Manager, atau???

Yang pasti, dengan sangat yakin 90%, aku menebak pasti hal yang besar yang terlintas di fikiran kalian masing-masing bukan. Begitu juga aku, ketika mendengar kata pemimpin, hal yang pertama kali meluncur di benakku adalah sesosok orang yang memiliki kharisma serta kewibawaan sejalan dengan nama yang disandangnya, PEMIMPIN.

Dari ilmu pelatihan dan buku-buku yang kubaca saat masih menjadi mahasiswa dulu, pemimpin memiliki tipe yang beragam macamnya. Tergantung, dari teori siapa kita berkiblat. Dari berbagai teori tersebut jugalah kita akan menemukan pemimpin yang ideal menurut teori tersebut atau pun menurut diri kita sendiri, setidaknya akhirnya kita tahu dan bisa menentukan kriteria minimal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. 

Ok, kukatakan dengan jujur bahwa aku adalah termasuk salah satu orang yang sangat menuntut sebuah keidealan dari seorang pemmpin. Tapi, aku terkadang juga bisa menoleransi kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Toh, bagaimana pun juga pemimpin adalah seorang manusia, bukan sebuah pelecut kuda yang bisa melecut kuda sesuka pengemudi kuda dengan sempurna. 

Ada perasaan galau saat mengetahui bahwa yang menjadi pemimpinku sekarang diangkat menjadi pemimpinku. Yah, hal itu memang harus kuterima dengan pasrah, karena bagaimana pun juga di atas pemimpinku ada pemimpinnya pemimpinku, dan pemimpinku itu ditentukan oleh pemimpinnya pemimpinku tersebut. Ribet memang, rumit pasti, tapi begitulah hidup. 

Seiring berjalannya waktu, aku berusaha untuk menepiskan rasa galau ku itu ke sudut hatiku yang dalam, kalau boleh keluar total dari hatiku, andaikan bisa. Ternyata, perkiraanku benar, sangat sulit untuk mengeluarkannya dari hatiku. 

Selama ini aku tidak menepiskan kalau aku adalah bawahan yang kurang loyal. Salah memang tetap salah ….

Monday, July 30, 2012

After Long, long, loooong Time not writing anything here



Tak terasa satu tahun berlalu terakhir kali aku menulis dalam catatan idealisku ini. Banyak peristiwa, kenangan, pelajaran hidup, dan kisah hidupku berakhir tanpa dokumentasi. But, its okay, aku masih bersyukur, setidaknya sampai saat ini aku masih wanita yang memiliki prinsip hidup dan penuh mimpi, Alhamdulillah, say thanks to Allah, yang masih ngasih nikmat sehat dan islamNya untukku.

Terakhir kali aku menulis di catatan ini, aku berprofesi sebagai seorang TPD di sebuah perusahaan kecil, yang ternyata tiga bulan setelahnya aku harus move on dari profesi tersebut. Sebulan setelahnya juga, aku mencoba melawan arus hidup.Yah, layaknya seekor ikan yang melawan arus air, segitu jugalah kerepotan yang kuhadapi saat aku memutuskan hijrah ke Surabaya. Jakarta ternyata bukanlah kota yang bisa bersahabat erat denganku, kami cukup hanya saling tau satu sama lain saja, karena lebih banyak ketidakcocokan antara aku, prinsipku, dan mimpi-mimpiku bila disandingkan dengan kota Jakarta. 

Singkat cerita, meskipun tidak singkat sebenarnya, aku pindah ke Surabaya dengan modal pertemanan dengan seorang anak ITS, Helvin namanya, sorang pecatur perempuan yang tangguh asal tanah garam sana, Madura. Selain dengan modal itu, tentu saja dibutuhkan keberanian yang besar dan sedikit tabungan hasil tiga bulan aku bekerja di perusahaan kecil tadi yang akan menopang hidupku sampai aku mendapatkan profesi baru lagi. 

Banyak yang terjadi, seiring bergulirnya waktu, banyak orang yang sudah kutemui, banyak watak yang ku analisis dari setiap pribadinya, hingga saat ini. Aku sendiri masih belum percaya akhirnya aku terdampar pada profesi yang tak akan pernah aku izinkan melintas di benakku sekali pun saat aku masih mahasiswa dulu, di mana profesi itu juga sangat mulia, yaitu GURU.

Ya, pada akhirnya doa Bapakku terkabul juga, beliau dulunya menginginkanku menjadi seorang guru, yang berakhir dengan penolakanku mentah-mentah. Ternyata, benar, ridho orang tua adalah ridho nya Allah. Di sinilah aku sekarang, menjalani hari-hariku menjadi seorang guru. Profesi yang paling kuhindari dari saat aku mengenal kata cita-cita, profesi yang tak akan kuizinkan sedetik pun hinggap di mimpi-mimpi hidupku.


Allah selalu memiliki rencana indah untuk hambaNya, prinsip itulah, yang syukurnya, masih aku pegang sampai saat ini. Indah memang kata-katanya, tapi jauh lebih indah saat aku bisa memaknainya setelah melalui beribu bahkan berjuta kesulitan saat menjalani hari-hariku di sini, di sekolah ini, di tempat calon-calon pemimpin dunia meniti anak tangga bawah mimpi-mimpi mereka.

Permen nano-nano hidupku yang baru mulai masuk ke dalam mulut-mulut kehidupanku, dan lidah-lidah kehidupanku mulai menyesuaikan diri dengan kejutan-kejutan rasanya. Sering rasa itu menyenangkan saat rasa manis mengalir ke lidah kehidupanku, namun tak jarang pula rasa pedas dan asam, bahkan asin, sangat asin menghantam ujung-ujung lidah kehidupanku saat lidah kehidupanku belum siap. 

Yup, hidupku sekarang lebih bergelombang, tapi di sanalah justru seni keindahan menikmati hidup. Tak jarang air mataku mengalir deras, hatiku bagai diiris sembilu, dan ledakan-ledakan emosiku harus kutahan, agar aku bisa menjadi manusia yang menjadi jauh berkualitas dibanding waktu-waktu lampau. Hanya ucapan “Bismillah” yang kuucapkan saat melewati semuanya serta penepisan fikiran-fikiran negatif terhadap Sang Khalik, agar aku senantiasa tawadhu menghadapi rahasia-rahasia lain kehidupan yang telah dipersiapkan olehNya. Lain waktu, akan kutuliskan cerita-cerita para pemompa semangatku di tempat ini, merekalah pemicu kerja kerasku, para Pemimpin dunia yang masih hijau dan haus akan ilmu serta nilai-nilai kehidupan. Merekalah siswaku, anak-nakaku, sahabatku dan sumber semangat mengajarku…. Merekalah para Muhammad kecil…


Friday, August 26, 2011

The New Page of My Life



Ya, judulnya menggambarkan bahwa aku bukanlah bagian kehidupan kampus lagi. Alhamdulillah tidak genap sebulan setelah sidang, aku diterima bekerja di PT Induksarana Kemasindo (ISKI) di daerah Jakarta Barat. Gajinya tidak begitu besar, namun masih cukup untukku seorang dan terbilang lumayan untuk fresh graduate seperti aku. Dan yang paling penting adalah, aku bisa hidup mandiri. Walau pun aku belum bisa membantu banyak untuk kehidupan orangtuaku, minimal aku tidak akan menyusahkan dan merepotkan mereka lagi. 

Hari pertama saat memasuki dunia kerja, banyak hal yang harus ku pelajari, banyak sisi yang harus ku perhatikan, dan paling tentu, banyak karakter yang harus ku kenal. Dari big boss, sampai office boy.

Hari pertama bekerja, aku dikenalkan pada banyak sekali karyawan, yang membuat memori di kepalaku harus bekerja keras untuk mengingat tiap wajah dan nama. Yang pada akhirnya membuat aku menyerah dengan usaha ku yang terbilang cukup keras untuk melakukan kedua hal tersebut dalam waktu bersamaan dalam waktu yang singkat. Selain diperkenalkan pada lingkunga kerja, aku diperkenalkan dengan tugas yang akan ku jalani selama bekerja di ISKI. Saat di kenalkan pada tugasku, sungguh gelar yang ku punya tidak memiliki peran yang cukup besar dalam hal itu. Aku merasa seperti anak TK yang masih buta huruf diajari untuk membaca sebuah novel, how can be?!?!?! Hari pertama aku belum bisa memutuskan apakah aku akan menyukai pekerjaanku atau malah membencinya.

Hari kedua bekerja, aku sudah mulai bisa akrab dengan rekan-rekan seruanganku, walau pun aku merasa sangat asing dan tidak enak, karena orang yang aku gantikan posisinya masih ada disana, untuk handover denganku. Yah, posisiku terbilang agak sulit. Memang orang itu keluar dari perusahaan atas keinginannya sendiri, dan bila dia tidak keluar maka aku tidak akan mendapatkan pekerjaan ini, tapi… posisi yang kuhadapi sangatlah tidak enak. Inginnya siyh, dia sudah tidak ada saat aku masuk, tapi kalau dia keluar maka aku belajar sama siapa dong??? Aku juga sampai saat ini belum bisa memutuskan apakah aku menyukai atau tidak menyukainya… karena, saat dia disana aku merasa tiba-tiba berubah menjadi invisible woman (tidak man, karena aku kan perempuan).

Namun, dihari kedua aku dilibatkan dalam acara komunitas di bagian aku bekerja, yang membuat aku tampak ada dan terlihat lagi… kesimpulan yang bisa kutarik dari hari pertama dan hari kedua, sungguh pengalaman organisasi dikampus belum cukup membantu aku bersosialisasi dalam lingkungan kerja… bukan berarti organisasi kampus yang salah, tapi memang aku masih memiliki pengalaman yang sangat sangat sangat kurang sekali… yah, hidup memang adalah sekolah yang paling nyata dan berharga…

Hari ketiga, hari terakhir bekerja dan hari terakhir aku bertemu dan ditraining oleh orang yang akan kugantikan. Disini aku sudah mulai paham akan tugasku, tidak seabu-abu hari pertama lagi. Sudah dapat kubedakan antara hitam dan putih dari pekerjaanku, walau pun masih ada yang terlihat abu-abu. Hari itu jugalah hari yang terberat dari hari ketiga tadi. Mengapa??? Pertama, aku memberikan kesan yang kurang bagus terhadap big boss, yang pada akhirnya si big boss menyuruh atasanku agar aku mengganti rokku dengan celana. Alasannya, terlalu beresiko kalau aku memakai rok di lapangan. I said in my mind “what?!?!?!, ganti costum?!?!?! No no no. It’s impossible to be done!!!”. Aku nggak mungkin melakukannya, yang artinya aku menjual aqidahku, Masya Allah… jangan sampai… aku tidak tahu apakah itu hanya akal-akalan si big boss saja agar aku keluar dari perusahaan secepat mungkin atau memang benar-benar resiko yang besar saat aku memakai rok di lapangan… Aku hanya berharap, atasanku akan lupa atas permintaannnya dan si big boss juga lupa kesan buruk yang ku timbulkan pada saat pertama kali ia melihatku dan aku bisa menunjukkan bahwa rokku tidak akan menutupi kecerdasan otak yang diberi Allah padaku. Intinya, penampilan islamiku tidak akan menghambat pekerjaanku. Apakah masih banyak yang memandang bahwa muslimah tidak bisa bekerja sama efektifnya dengan wanita-wanita rok pendek diluar sana, let me prove it, that we can do that better!!! Ya Allah, jagalah hamba dalam mencari rezeki yang halal, dan bila ini bukan jalan untuk mendapatkan rezeki yang layak untuk hamba, maka bukakanlah dan mudahkanlah jalan yang lain untuk hamba.

Permintaan atasanku sudah membuat aku sedikit down, dan sangat menambah berat kulit di wajahku, sehingga sangat sulit bagiku untuk memberikan senyum tulus dan berbinar-binar pada orang lain yang menjadi lawan bicaraku. I was so shocked!!! I was so confused!!! Gimana nggak, waktu hari pertama wawancara sampai hari kedua aku bekerja, penampilanku bukanlah problem, but why now??? Kenapa harus setelah hari ketiga??? Kalau dari hari pertama aku ditolak, I would understand it… yah, Rahasia Allah always better, I know it.

Setelah banyak perasaan dan fikiran berkecamuk di kepala dan di dadaku, ternyata bagian terberat belum juga cukup memenuhi hari terakhir kerjaku di bulan ini. Saatnya perpisahan dengan orang yang akan kugantikan. Ok, namanya mba Yanti. Tidak nyama juga rasanya kalau aku memanggil dia terus menerus dengan “orang yang akan kugantikan”. Toh dia punya nama, dan aku tidak membenci dia. Hanya saja, yah, aku tidak tahu harus berperasaan seperti apa terhadap beliau. Yang pasti, saat rekan-rekan lain mengucapkan salam perpisahan dengannya, aku merasa berada di tempat yang sungguh sangat sangat sangat tidak seharusnya aku tempati. Aku merasa ingin pergi atau menghilang sesaat, yang keduanya tidak mungkin aku lakukan. Because, I was still there, watched them!!! Sungguh perasaan yang tidak nyaman. Seperti berada di pemakaman dengan pakaian badut, sungguh tidak pantas kan?!?!?! Yah, selamat Putri Lestari Hemawati, kamu dapat  jackpot bom jantung dalam satu hari!!!

Yah, terlepas dari semua itu, aku masih bersyukur atas semua yang Allah beri padaku… aku yakin, Allah tidak akan menguji hambaNya melebihi kapasitas keimanan dan kekuatan hati dan jiwa yang dimiliki hambaNya tersebut… but, I just need time to accept everything. Dan semoga aku bisa cepat menerima semua ini. Mudah-mudahan liburan dan akhir bulan suci ini bisa membawa berkah untukku… amin ya Allah…

Mudah-mudahan ini episode hidup yang penuh hikmah

Friday, December 24, 2010

Mengubah Nasib, How Can ?!?! Absolutely, Can be !!!



Hmmm, judulnya, semua orang pasti tahu itulah jawabannya (tidak harus cerdas untuk mengomentarinya). Ya bagaimana bisa?!?! Tentu saja bisa!!! 

Kuncinya adalah ikhtiar, usaha, tawakkal, dan ikhlas. Teorinya sih sangat mudah, prakteknya, beuhhhh gampang-gampang susah, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan.

Beberapa minggu yang lalu, sekitar dua minggu mungkin, aku ketemu seorang pedagang asongan di bus Damri. Ketemu pedagang asongan di damri bukan merupakan hal yang istimewa menurutku, dan mungkin juga menurut kebanyakan orang. Tapi, untuk pedagang yang satu ini, ada yang spesial di mataku. Pedagang asongan ini adalah seorang bapak yang umurnya mungkin akhir 30-an. Dia berdagang tissue, permen, atau camilan sejenisnya. Tidak ada yang aneh dengan penampilan bapak ini, sangat wajar, layaknya tampilan seorang bapak-bapak yang biasa saja, dan layaknya seorang pedagang asongan, berusaha menjajakan dagangannya pada setiap penumpang bus sebelum bus itu berangkat.

Tapi, eits, tunggu dulu... aku kenal dengan bapak itu, bukan kenal dalam arti kita pernah kenalan atau pernah bertegur sapa lalu menjadi sahabat, bukan bukan seperti itu. Tapi, sebelumnya aku sering melihat bapak itu, di tempat yang sama, bus Damri, tapi profesi yang berbeda. Ya, benar, aku yakin, profesinya berbeda dan aku yakin banget, bahwa bapak itu adalah bapak yang sama. 

Ya, sekitar tiga minggu sebelumnya (lima minggu yang lalu terhitung dari sekarang), bapak tersebut masih berprofesi sebagai peminta sumbangan untuk pembangunan masjid disuatu daerah yang aku tahu, tapi belum pernah ke daerah tersebut. Bapak tersebut aku kenal, karena seringnya aku naik bus dan seringnya aku melihat bapak tersebut. Dengan pidatonya yang sama, dan teknik yang sama, serta kotak amal yang sama, dia meminta sumbangan dari para penumpang untuk pembangunan masjid di daerah yang tak pernah ku kunjungi tersebut. Yah, ada sekitar sepuluh kali lah aku ketemu dengan bapak tersebut, dan hampir 50% dari pertemuan itu aku memberikan sumbangan pada bapak itu. Bukan bermaksud pamer, tapi hanya sekedar ingin membuat hitungan kalau sekiranya si bapak tersebut sudah sekitar tiga bulan di bus damri tersebut, dan mendapatkan minimal sumbangan dari lima orang penumpang dari setiap bis yang akan berangkat, dan minimal sumbangan tersebut berjumlah sama dengan uang yang aku sumbangkan, kira-kira berapakah yang didapatkan oleh bapak tersebut???

Oke, tidak perlu memusingkan berapa jumlah yang didapatkan si bapak tersebut, dan apakah uang yang kita beri benar-benar dibuat untuk pembangunan masjid atau tidak. Lupakan hal tersebut untuk sejenak. Karena yang ingin aku ambil titik pointnya disini adalah, si bapak itu sekarang beralih profesi. 

Ya, BERALIH PROFESI, menjadi seorang pedagang asongan. Apa istimewanya bila ia beralih profesi? Sangat istimewa menurutku. Kok bisa? Karena itu artinya dia tidak membutuhkan belas kasihan orang lain lagi untuk mendapatkan uang. Terlepas dari uang yang dia gunakan mungkin berasal dari sebagian hasil memungut sumbangan dari para penumpang bis, atau 100% modalnya memang berasal dari itu. Terlepas dari itu semua, setidaknya si bapak tersebut punya keinginan untuk merubah taraf hidupnya dengan cara yang lebih baik dan bermartabat. Menjadi pedagang asongan bukanlah suatu pekerjaan yang hina atau haram. 

Wallahualam bishowab dengan kejelasan halal atau tidaknya penghasilan si bapak tersebut, tapi yang pasti aku memberikan aplaus untuk bapak tersebut, dengan keinginannya untuk merubah taraf hidupnya. Setidaknya, bapak ini tidak berhenti pada satu titik, menjadi seorang peminta sumbangan, yag mengharapkan belas kasihan orang lain. Artinya bapak tersebut ingin mengubah nasib dengan ikhtiarnya.

Jadi ingat film “Alangkah lucunya negri ini”, yang menggambarkan wajah negri ini. Dimana, di film tersebut menceritakan kisah para pencopet yang berusaha mengubah jalan hidupnya, tapi tetap modalnya dari hasil mencopet. Disitu sih katanya itu duit haram, tapi hanya Allah yang tahu apakah hasil akhirnya ketika mereka berhasil berubah, halal atau tidaknya uang tersebut. Apakah bisa dikatakan mereka bertaubat??? Wallahualam bishowab. Hanya Allah yang tahu dan berhak memberikan penilaian.

Bagaimana pun, semua orang punya hak dan kesempatan untuk memilih dan mengubah jalan hidupnya. Because Life is a Choice...

Tapi, untuk baiknya, maka lebih baik sumber, proses dan hasil yang kita lakukan adalah berasal dari kebaikan sehingga bisa mencapai ridho Allah.

Sunday, December 12, 2010

Dimanakah diriku ???



Sudah sangat lama tidak menuliskan ide-ide yang terlintas di kepalaku. Aku merindukan saat-saat aku masih aktif di organisasi kampus dulu. Banyak kejadian dan peristiwa yang terukir di sejarah peradaban manusia belakangan ini. Banyak perubahan yang terjadi dengan dunia. Bagaimana dengan kalian??? Dan bagaimana dengan diriku???

Judul tulisanku sangat miris ya, bila dibaca oleh rekan-rekan junior di kampus, bahkan mungkin kalian juga tertawa membaca judul dari tulisanku. Jujur, tapi itulah yang kurasakan saat ini…. Sedikit kosong, hampa, dan jauh dari sosok seorang mahasiswa yang berjuang mengatasnamakan Rakyat Indonesia.

Banyak aktifitas yang terasa menjemukan saat ini. Apakah, karena aku yang memilih jalur tersebut??? Hhhhh entahlah ….

Is Everything stop in the unsaturated moment??? I don’t know…

Aku merindukan teman, rekan-rekan, saudara-saudara seperjuangan dulu ketika masih aktif di organisasi kampus. Namun, waktu terus berjalan, kenangan tidak dapat diputar kembali, moment-moment yang indah tidak dapat diulang dengan keindahan yang sama, dan aku, dia, mereka, kalian semua bertambah tua …. Time must go on ….

Saat ini aku sedang sibuk-sibuknya mengerjakan tugas akhirku, sebagai syarat aku berhak mendapatkan gelar “S.Si.” di akhir namaku. Yah, mungkin karena itulah, akhirnya sekarang aku sangat ketinggalan berita-berita yang ter up-date di kampus (Jatinangor), sebab penelitianku di Bandung.

Targetanku, aku ingin wisuda di bulan Februari mendatang, tapi Allah berkehendak lain, jadi wisudaku terunda. Namun, aku berharap dan berusaha agar semua pekerjaanku yang berkaitan dengan penelitianku selesai di akhir Januari mendatang.

Allah ternyata masih mengujiku, aku masih harus dengan sabar menyaksikan teman-temanku yang lain diwisuda dan menyandang gelar sarjana di akhir nama mereka. Ternyata aku belum lulus ujian itu ya Rabb ….


Semakin bingung dari hari kehari, semakin hampa, semakin kosong ….


Dimanakah diriku???