14 Desember 2012
Konsep persaudaraan yang diperkenalkan oleh
ajaran Islam sangatalah indah. Di dalam konsep tersebut semua orang muslim di
dunia ini adalah saudara, terlepas dia terlahir dari golongan kaya atau miskin,
terlepas dari jabatan, keturuna, suku, ras, kemampuan, atau segala hal yang
berkaitan dengan keduniawian. Selama ia masih mengaku menjadi orang islam
(beragama islam) maka orang tersebut adalah saudara orang islam lainnya.
Sesama muslim adalah satu tubuh. Analogi ini
jugalah yang dibawa oleh ajaran islam dalam menyebarkan indahnya persaudaraan
islam. Bila muslim yang satu merasa kesulitan, maka sudah seyogyanya bila
muslim yang lain untuk membantu meringankan beban tersebut, atau minimal tidak
menambah kesulitan tersebut atau malah mempersulit kemudahan masalah tersebut.
Layaknya tangan kanan kita yang terluka, maka pada kondisi tersebut tangan kiri
kita akan mengambil alih pekerjan tangan kanan tersebut, atau bagia tubuh yang
lain akan memposisikan dirinya masing-masing untuk membuat keadaan yang lebih
nyaman pada tangan kanan yang terluka tersebut, atau setidaknya akan
menghindari daerah-daerah yang akan membuat tangan kanan tersebut bertambah
parah rasa sakitnya. Begitulah analogi yang diajarkan oleh islam tentag sebuah
konsep persaudaraan.
Konsep persaudaraan islam yang seperti inilah
yang dulu membuat aku tertarik untuk mengenal islam lebih jauh dan lebih dalam.
Semua muslim itu saudara, konsep persaudaraan dalam islam yang pertama kali ku
dengar saat aku berada di bangku SMA. Kata-kata tersebut tercetus dari seorang
laki-laki yang aku kagumi. Bukan rasa kagum seorang perempuan pada laki-laki,
tapi rasa kagum dari seorang murid pada gurunya.
Rasulullah telah membawa dan mengenalkan
konsep ini ratusan tahun yang lalu, telah menyebarkan indahnya konsep ukhuwah
islamiyah ke segala penjuru. Namun, dari laki-laki tadilah aku mengenal konsep
yang disebarkan oleh rasulullah. Aku bersyukur Allah mempertemukan kami sebagai
guru dan murid.
Ketika di bangku SMA, untuk pertama kalinya
aku benar-benar merasakan indahnya ukhuwah. Bagaimana senior-seniorku membantuku
dengan sumbangan-sumbangan baju dan kerudung mereka saat aku memutuskan untuk
menutup auratku. Bagaimana semangat, dukungan, motivasi dan doa dari mereka yang
kudapatkan ketika aku melewati berbagai cobaan, rintangan, dan penentangan pada
awal hari-hari aku menjalani diriku menjadi seorang muslimah dengan penutup
aurat yang rapat. Hingga pada akhirnya aku punya kekuatan dan tekad sendiri
yang kokoh untuk terus memperjuangkan niatku dalam menutup aurat. Aku berniat
takkan melepas kerudungku sampai kapan pun di depan orang-orang yang tak berhak
untuk melihat auratku. Islam semakin indah bagiku. Kerudung bagiku bukanlah
suatu belenggu, sebaliknya, malah kuanggap sebagai pelindung dan simbol
kebebasanku. Aku yang memilih siapa-siapa saja yang berhak melihat auratku.
Cara pandangku, semuanya bermula dari sebuah konsep ukhuwah. Semua muslim itu
bersaudara, aku tahu dan yakin pada saaat itu dan sampai sekarang pun, aku
tidak sendiri, tidak pernah sendiri. Aku selalu punya saudara, saudara seiman.
Konsep ukhuwah yang indah juga kurasakan pada
saat aku menjadi penghuni salah satu kampus di kota kembang sana. Pada hari
pertama aku menginjakkan kakiku di kota pelajar itu, hatiku membuncah oleh rasa
haru dan bahagia. Bukan karena akhirnya aku berhasil sampai ke kota tersebut,
tapi lebih pada sekelilingku. Kepala-kepala yang ditutup kerudung, bertabur
dimana-mana, sangat kontras dengan daerah asalku dulu. Namun, seiring dengan
berjalannya waktu, sebagian sisi hatiku berdenyut perih dan sakit ketika konsep
ukhuwah yang kukenal tak seindah yang diceritakan oleh guru dan
saudara-saudaraku di Kabanjahe sana. Bukan karena terlalu sering menjalaninya
sehingga menjadi biasa rasanya, bukan karena itu. Karena pada akhirnya, di kota
kembang sana, wanita-wanita yang bertaburan kerudung tadi tidak seperti aku
dan saudara-saudaraku saat di SMA dulu. Berkerudung di kota kembang sana bukan
berarti harus menutup aurat hati dan fikiramu. Tidak harus berarti itu. Sungguh
bila kuingat lagi sekarang cara berfikirku yang lalu, aku mungkin akan
menertawakan kesederhanaan, kebodohan dan kenaifan cara berfikirku.
Namun, kesedihan hatiku tak berlagsung lama.
Ibarat pengembara yang kehausan di padang pasir, menemukan oase yang sangat
indah dengan limpahan air yang bening dan sejuk, begitu jugalah yang kurasakan
saat benar-benar menjejakkan kakiku di kampus Padjadjaran sana. Aku
dipertemukan kembali dengan konsep ukhuwah yang kurindukan dulu, konsep yang
mengatakan bahwa muslim itu satu tubuh. Konsep ini tidak hanya kutemukan dan
kurasakan di kampus. Allah sangat baik, sehingga aku juga bisa merasaka ukhuwah
saat aku memilih tempat tinggal (baca: kos-kosan). Indah, sangat indah
saat-saat aku memiliki saudara-saudara untuk berbagi. Berbagi cerita senang,
duka, mimpi, sejarah, ambisi-ambisi, ketakutan-ketakutan, perbedaan pendapat,
pandangan-pandangan. Semuanya indah, sangat indah. Saat aku sakit, aku sangat
ingat seorang saudaraku membantuku mengerjakan laporan praktikumku saat aku
jatuh sakit, padahal dia bukan jurusan kimia. Saat aku butuh kendaraan dikala
ekonomi keluargaku memburuk, saudaraku meminjamkan motornya padaku untuk waktu
yang lumayan panjang, dan masih banyak lagi kenangan-kenangan indah tentang
ukhuwah islamiyah yang kualami dan kurasakan selama 5 tahun di Jatinangor,
tempat Padjadjaran berdiri kokoh.
Sampai aku melepaskan statusku sebagai
mahasiswa, dan berdiri di aula Padjadjaran didampingi kedua orangtuaku dan
nenekku, ingatan akan ikatan ukhuwah itu masih terpatri kuat di pohon-pohon
memoriku. Dimana salam, sapa, dan senyum mereka begitu bertebaran di tiap-tiap
hariku selama 5 tahun aku mengukir ilmu di Padjadjaran sana. Semuanya begitu
terasa biasa karena begitu sering hal itu aku dapati.
Hal-hal semacam itu, senyum, salam, dan sapa
tadi mulai terasa indah saat wajah-wajah teduh dengan kerudung panjangnya yang
anggun tidak lagi kutemukan di daerah tempat aku bekerja (Jakarta). Aku mulai
merindukan sapaan-sapaan yang islami, sapaan-sapaan yang tulus, yang dengan
sadar dilakukan oleh mereka semua karena Ridho Allah semata, buka mengharapkan
imbalan dari orang yang disapa. Akhirnya,
aku menyimpulkan bahwa lingkungan tempat aku bekerja sungguh kering dari
kata-kata “UKHUWAH”. Buah dari kesimpulanku akhirnya menjawab keragu-raguan
tekadku untuk mencari ladang rezeki yang baru. Aku keluar. Keluar untuk mencari
lingkungan yang menawarkan tunas nilai-nilai ukhuwah islami.
Ketika teman-temanku yang sejurusan
beramai-ramai berlayar di daerah barat bumi Nusantara (Jabodetabek), aku
memutar kemudi kapalku, mencoba menemukan ikan yang berlimpah ruah ke arah timur.
Dan sampailah aku di kota Pahlawan. Kota yang terkenal dengan lambang ikan hiu
dan buaya. Ya, Surabaya.
Di kota Bonek ini aku mulai menebarkan jaring-jaringku,
mencoba ke pulau yang satu dan ke pulau yang lainnya, mencocokkan dengan konsep
ukhuwah yang pernah aku kenal, dan akhirnya aku memutuskan berlabuh di tempat
ini, tempat para calon-calon pemimpin dunia dicetak (mudah-mudahan bukan hanya
sekedar jargon).
Setelah hampir satu tahun aku berbaur dengan
para pelaku utama dan pelaku figuran di tempat ini, aku mulai terbiasa dengan
rasa kecewa, sehingga kecewa bukan sesuatu yang mendorongku untuk menjadi
seseorang yang reaktif (lagi). Ya, lagi-lagi, di tempat ini, konsep ukhuwah
yang kukenal tidak seindah dulu. Terkadang kenangan memang jauh lebih indah,
apa lagi saat kita menemukan pembandingnya di masa depan.
Semoga aku bisa membangun konsep itu dengan
mereka (siapa pun itu) yang merindukan ukhuwah islamiyah yang indah, sangat
indah….